Kasus viral seorang kepala sekolah yang menampar murid karena berbohong setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah kini memantik perdebatan luas. Di satu sisi, publik mengecam tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Namun di sisi lain, kita seolah melupakan akar persoalan: hilangnya wibawa pendidik dan lunturnya penghormatan terhadap nilai kedisiplinan.
Kepala sekolah — sebagai figur moral sekaligus pengendali tata nilai di sekolah — memang tidak sepatutnya menggunakan kekerasan fisik. Namun konteks peristiwa ini tak bisa dilihat hitam putih. Seorang murid yang tertangkap merokok dan berbohong telah melanggar dua nilai dasar: kejujuran dan tanggung jawab. Saat pendidik menegur, bahkan dengan emosi, sesungguhnya yang diserang bukan hanya perilaku individu, tapi cermin krisis karakter generasi.
Lebih ironis lagi, ketika siswa-siswa lain melakukan aksi mogok belajar sebagai bentuk solidaritas, justru menambah luka moral dunia pendidikan. Solidaritas yang sejatinya bermakna empati kini berubah menjadi pembenaran perilaku salah. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana semangat kebebasan di sekolah sering disalahartikan sebagai kebal terhadap aturan. Marwah pendidikan seolah menjadi wahana bebas tanpa batas, di mana siswa merasa bisa menuntut tanpa kewajiban untuk introspeksi.
Yang paling menyedihkan adalah hilangnya tabayun — sikap mencari kebenaran secara adil dan tenang. Di tengah derasnya arus media sosial, publik buru-buru menghakimi tanpa mendengar utuh duduk perkara. Murid, guru, kepala sekolah — semua menjadi objek tontonan, bukan lagi subjek pembelajaran moral. Padahal, pendidikan adalah ruang untuk memperbaiki, bukan sekadar memviralkan.
Sudah saatnya kita menegaskan kembali bahwa disiplin bukan kekerasan, dan teguran bukan penghinaan. Kepala sekolah punya tanggung jawab moral menjaga lingkungan pendidikan dari perilaku yang mencederai nilai. Namun siswa pun mesti belajar bahwa kebebasan di sekolah tetap berpagar norma. Bila setiap aturan ditawar, dan setiap teguran dibalas mogok, maka yang runtuh bukan hanya wibawa guru — tapi marwah pendidikan itu sendiri. (AHS)
Post a Comment